Sabtu, 15 Januari 2011

AKANKAH KEBAIKAN BERBUAH KEBAIKAN PULA ? (Bag.3 )

"Ingat dengan petuah orangtua kita semenjak kita kecil dulu, Neng !" Aku mengingatkan kembali sahabatku pada kata 'jodo-pati-cilaka kersaning Mantenna' ( jodoh-ajal-celaka adalah kekuasaan Tuhan ), petuah orang tua kami dulu untuk mengajarkan kami keturunannya tabah dan tawakal menghadapi takdir hidup. "Kita harus mengimani itu, baru kita bisa ikhlas menerima kenyataan hidup kita. Aku yakin apa yang menimpa kamu atas kehendak Dia pula, mungkin ada rencana Tuhan disebalik semua itu."

"Yang menimpaku atas kehendak Dia pula ?" Sahabatku tersenyum getir. "Jadi dengan kata lain Tuhan merestui sebuah kedhaliman dan berpihak pada si tukang guna-guna itu ? Dan tidak berpihak padaku, membiarkanku terlantar dan teraniaya ? Kalau aturannya seperti itu, untuk apa aku menjadi orang baik ? Bukankah lebih baik bila aku menjadi orang jahat saja agar Tuhan berpihak padaku ?" Matanya nyalang, memercik kemarahan yang penuh penggugatan.

Sejenak aku diam, dan hanya bisa menatap kasihan. Entah dengan cara apalagi aku bisa mengikis luka batinnya. Ternyata, melukai seseorang itu sangat mudah, hanya dalam satu jentikan jari saja. Tapi menyembuhkan luka itu, tak pernah ada jalan yang mudah. Mungkin waktu sekalipun, tak akan pernah memperoleh kemudahan dalam memproses kesembuhannya.

"What goes around will comes around, Neng." Lanjutku. "Karma itu pasti ada. Setiap perbuatan, apalagi perbuatan jahat, cepat atau lambat akan balik kembali pada yang berbuat. Mungkin saat ini, Dia membiarkan temanmu itu dengan kesengajaan, untuk melihat sampai dimana kejahatannya. Tapi percayalah, akan ada waktunya kejahatan itu kembali kepemiliknya. Sebesar apa temanmu itu mampu untuk berbuat jahat, sebesar itu pula kejahatannya akan kembali."

Untuk beberapa bulan lamanya, sahabatku tenggelam dalam perang bathinnya sendiri. Sampai kemudian dia mulai ikhlas menerima kenyataan. Dia sadar bahwa kalau dia terus menerus terbenam dalam dendam dan sakit hati, apa bedanya dia dengan mantan temannya itu ? Yang membuang banyak waktu dan energi untuk membenci, bukannya memanfaatkan waktu untuk membenahi diri sendiri. Akhirnya, sahabatku itu meneruskan kembali langkah-langkahnya yang sempat terhenti. Saat ini dia telah memiliki kekasih yang menurutku tak kalah kualitas secara sosial dan finansial dari mantannya.

Aku bahagia melihat sahabatku menemukan kembali kebahagiaannya. Bukankah itu arti seorang sahabat ? Berbahagia melihat sahabatnya bahagia, bersedih melihat sahabatnya sedih. Bila berlaku dengan pola kebalikannya, bahagia melihat sahabatnya bersedih, bersedih melihat sahabatnya bahagia, masih patutkah untuk disebut sahabat ? Mungkin, disebut sekedar teman saja tak pantas.

Namun masih ada yang membuatku penasaran dalam kisah sahabatku ini, yaitu keberadaan 'guna-guna' itu sendiri dalam kenyataan. Benarkah ada ataukah sekedar sugesti dan syak wasangka ? Berbekal rasa penasaran, akupun mulai kasak-kusuk sana-sini mencari informasi. Hasilnya, aku bertemu dengan teman SD ku yang sekarang telah menjanda. Dari dia aku mendapat bocoran yang lagi-lagi membuatku keningku berkerut tak mengerti.

"Kalau kamu butuh bantuan dukun, aku akan antarkan kamu ke dukun langgananku." Teman lamaku ini bersemangat sekali sewaktu aku berpura-pura mengatakan sedang butuh bantuan dukun untuk membalas sakit hati. "Dengan bantuan dukun itu, kamu bisa membalas sakit hati kamu. Sudah terbukti nyata !" Yakinnya setengah berpromosi.

"Sudah terbukti nyata ? Berarti kamu sudah pernah mempergunakan jasa dukun itu dong ?"

Iis mesam-mesem malu, "Hehe, iya. Habis aku sakit hati dengan mantan suamiku yang menceraikan aku gitu aja dan kawin lagi dengan janda tetangga. Jadi aku kerjain aja."

"Kerjain gimana maksudnya ?"

"Ya di kerjain, aku bikin dia sial dalam segala hal. Kamu lihat kan sekarang gimana kehidupan mantan suamiku. Usaha kelontongannya bangkrut, istri barunya juga kabur setelah dia tak lagi punya uang. Dia lontang-lantung nggak jelas seperti orang gila."

Keterangannya makin 'nggak mudeng' saja. Mungkin kesialan mantan suaminya hanyalah sebuah kebetulan yang terjadi setelah dia pergi kedukun. "Kamu ini naif banget sih Is, kenapa kamu katakan rahasia ini padaku ? Gimana kalau aku mulut ember ?"

"Aku bilang ini sama kamu, karena aku percaya sama kamu. Buktinya, semua rahasia masa kecil kita dulu tak pernah bocor ke siapa-siapa. Termasuk rahasia kalau akulah yang mencuri gohok di kebun pak Somad."

Akhirnya, diantar Iis akupun berangkat ke rumah dukun itu. Namun sampai disana, aku bingung harus bagaimana dan siapa orang yang akan 'kukerjai'. Karena kalaupun aku sering disakiti dan terhina, tapi apakah dengan menghancurkan hidup orang akan ada manfaatnya buatku selain hanya kepuasan hati sendiri melihat kehancuran orang lain ? Apakah bila orang telah 'terjatuh', lantas aku bisa menjadi kaya raya dan hidup bahagia ? Yang jelas tidak. Jadi untuk apa aku melakukan sebuah kesia-siaan hanya untuk memuaskan nafsu untuk menghancurkan orang lain ? Dan dengan terbata-bata didepan dukun itu, akupun mengatakan kalau maksud kedatanganku adalah untuk meminta bantuan demi kesuksesan bisnisku. Dan tentu saja, keteranganku ini membuat Iis yang duduk disebelahku terbengong-bengong, heladalah.

Namun dari sini, ada yang sangat menggelitik pikiranku. Aku melihat ada banyak foto berserak dibawah meja sesaji yang aku menduga itu adalah foto-foto orang-orang yang akan 'dikerjai'. Terlepas dari apakah ampuh ataukah tidak kinerja dukun ini, namun dari sekian banyak orang dalam foto tersebut, hanya segelintir saja yang mungkin pantas untuk 'dikerjai' karena kejahatannya. Sebagian besarnya, hanyalah orang-orang baik yang tak pantas menjadi 'korban' hawa nafsu sesamanya, seperti sahabatku. Dan aku yakin, setinggi apapun ilmu dukun atau paranormal itu, tak akan bisa memilah orang per orang mana yang patut atau tak patut untuk 'dikerjai'.

Hatiku teramat miris, dan mau tidak mau akupun mempertanyakan hal sama dengan yang dipertanyakan sahabatku, akankah kebaikan berbuah kebaikan pula ? Namun aku sangat percaya, ada hakim tertinggi atas semesta yang akan menjadi sang Adil penentu segalanya.

Rabu, 05 Januari 2011

AKANKAH KEBAIKAN BERBUAH KEBAIKAN PULA ? ( Bag.2 )

"Tak cukupkah kebaikan hati menjaga kita agar tak disakiti ?" Begitu sahabatku bertanya. Yang lagi-lagi aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya mengajukan jawaban pengalihan, bahwa setidaknya dengan kebaikan hati hidup kita akan lebih tenang tanpa dikendalikan hawa nafsu untuk menyakiti. Dan tentu saja jawabanku tak membuatnya puas, "Aku bantu dia sewaktu dia sedang dalam kesusahan, aku beri makan saat dia kelaparan, aku antarkan dia ke rumah sakit saat asmanya sering kumat. Akulah orangnya yang melakukan semua itu untuk dia. Dan di ujung hari, aku pula orangnya yang dia guna-gunai."

Ah, sulit rasanya aku mempercayai  'guna-guna' itu ada dalam nyata. Susah payah aku meyakinkan dia, bahwa guna-guna itu hanya isapan jempol belaka. Lalu aku menyarankan dia untuk untuk berdoa memohon petunjuk, mungkin dia hanya sedang berburuk sangka, mencari kambing hitam atas penderitaannya. Karena bukan tidak mungkin kesialan demi kesialan, nasib buruk yang terjadi pada dia belakangan ini membuatnya sangat marah dan mencari pelampiasan dengan menyalahkan oranglain sebagai penyebabnya.

Tapi sahabatku bersikukuh bahwa itu bukan prasangka. "Malam sebelum aku putus dengan pacarku, aku melihat bayangan masuk kekamarku. Aku yakin sekali aku tidak sedang bermimpi, karena mataku melotot dengan kesadaran penuh, hanya saja tiba-tiba aku lumpuh layu tak bisa berbuat apa-apa. Bayangan itu mendekatiku, mencabut sesuatu dari ubun-ubunku. Aku merasa ada yang keluar dari tubuhku, kemudian bayangan itu pergi. Tapi sebelum bayangan itu menghilang, aku sempat melihat wajahnya. Sekalipun samar dalam gelap aku yakin itu adalah wajah teman kos-ku."

"Tapi bagaimana mungkin seorang manusia bisa berubah menjadi bayangan yang bisa menembus tembok ?" Heranku saat itu. 

"Memang bukan dia, tapi jin piaraan yang disuruhnya." Yakinnya.

"Halah, memangnya dia orang sakti yang bisa mengendalikan makhluk halus ?"

"Bukan, teman kos-ku itu bukan orang sakti, tapi orang yang sering pergi ke dukun." Jawaban sahabatku sempat membuatku menahan napas penasaran. "Sejak pertama aku menjadi penghuni kos disitu, aku sering melihat dia pergi ke dukun. Dia pernah mengajakku, tapi aku tolak karena aku tak mengerti untuk apa kita pergi ke dukun. Lalu dia bilang, agar kita terlihat lebih menarik dan banyak disukai laki-laki. Namun tetap saja aku tidak mau, karena tanpa bantuan dukun pun, Tuhan selalu membantuku.Tapi dia malah makin sering mengunjungi dukunnya, sering beli bunga untuk mandi kembang, dan sangat percaya dengan ramalan si dukun itu. Aku sendiri tak mau usil dengan kepercayaannya. Pikirku saat itu, bila dengan pergi ke dukun bisa mensugesti dia bersemangat untuk meraih keinginannya, kenapa tidak ? Dan kenapa aku harus usil ? Jadi aku biarkan saja. Toh mungkin dia memerlukannya untuk mendongkrak rasa percaya dirinya. Bukannya menghina dan menyepelekan ciptaan Tuhan, tapi dengan wajah pas-pasan dan tubuh gendut, aku sempat berpikir kalau dia berekspektasi terlampau tinggi, ingin mendapatkan jodoh pria tampan dan kaya raya. Aku pribadi terlalu takut bila harus berekspektasi setinggi dia, karena aku harus sadar siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku."

"Dia memang seorang pemimpi." Lanjut sahabatku lagi, sementara aku diam saja dan menganalisa "Untuk mewujudkan impiannya menjadi putri Cinderella dalam dongeng, yang mendapatkan pangeran tampan kaya raya, dukun pun menjadi alternatif solusi impiannya. Aku tidak ingin kritis dengan pola pikirnya, kalau saja dia tidak merugikan orang lain dalam mengejar mimpi-mimpinya. Kami awalnya baik-baik saja, mungkin dia merasa aku bukanlah siapa-siapa yang akan menjadi saingannya untuk menjadi yang 'tercantik dan terlaku'. Sampai kemudian, aku punya pacar orang Arab kaya raya itu. Dia mulai kasak-kusuk, memperlihatkan iri dengkinya. Dia mempengaruhiku untuk tak lagi pacaran dengan mantan pacarku itu, dengan segala cara. Saat itu aku pikir, wajar saja orang punya rasa iri. Semua orangpun diberi perasaan itu, hanya saja ada yang mampu mengendalikan dan meredamnya, ada yang malah dikendalikan rasa iri tersebut. Apalagi untuk temanku, dia jungkir balik pergi ke dukun-mandi kembang-bakar kemenyan segala, tapi dia belum juga mendapatkan pria seperti impiannya. Sementara aku yang tanpa jampi-jampi dari dukun atau mandi kembang pun, bisa mendapatkan pria yang lebih baik.  Normal bila dia merasa iri. Cuma aku tak menyangka, kalau rasa iri hati itu akan membawanya kembali ke dukun dengan keinginan untuk menjatuhkan aku."

"Darimana kamu yakin kalau dia ke dukun untuk menghancurkan kamu ?" Tanyaku sangsi.

"Karena setelah kejadian masuknya bayangan kekamarku dan mencabut sesuatu dari ubun-ubunku, besoknya aku langsung diputus oleh pacarku yang orang Arab itu. Dan tak berapa lama kemudian, aku juga kehilangan pekerjaan karena pabrik tempatku bekerja harus tutup dan bangkrut. Belum lagi kesialan-kesialan lain yang terus menerus menimpaku yang membuatku terpuruk." Sahabatku menyeka airmatanya. "Dan seminggu sebelum aku melihat bayangan, dia juga pernah bercerita, bahwa dia bermimpi kalau aku mendiami kamar yang tanpa pasak, alias melayang. Tadinya, aku tak mengerti maksud cerita mimpinya. Namun belakangan, setelah aku ditimpa kemalangan berturut-turut, aku yakin bahwa yang dikatakannya bukanlah mimpi, tapi isi hatinya, yang tanpa sadar keluar saking iri dengki. Dan bisa jadi keinginan hatinya pula yang dia ungkapkan ke dukun itu. Keinginan untuk melihat hidupku melayang, tanpa pasak penopang. Dan buktinya, aku memang kehilangan penopang hidupku, yaitu pekerjaan dan pacar. Juga kehilangan good luck-ku, karena sampai sekarang harus tertatih-tatih melawan kesialan."

Aku terdiam mendengar cerita panjang lebarnya. Entah harus percaya atau tidak. Yang jelas, aku pribadi, sering merasa iri dengan keberuntungan sahabatku ini. Dia terlahir dari keluarga pas-pasan, tapi dia dinaungi keberuntungan. Wajahnya yang manis, otaknya yang cerdas, menjadikan dia perempuan menarik luar dalam dan banyak mempesona pria-pria yang secara sosial berkualitas.  Hanya saja, aku mampu mengendalikan rasa iri hatiku. Kalaupun aku layak untuk iri pada sahabatku, tapi dia tak layak untuk dijatuhkan sekedar untuk memuaskan perasaan iriku. Dia baik, dan tak layak untuk disakiti.

Sampai saat ini, sahabatku masih tertatih-tatih dan kadang letih, dibelenggu kesialan. Namun kebaikan hatinya, membuatnya masih memiliki orang-orang yang selalu support, termasuk aku. Dan aku akan selalu mensupport dia dalam doa, semoga mantan temannya itu akan di sentil hatinya oleh yang Maha Pencipta. Disadarkan dari khilafnya ( kalau dia khilaf saat melakukan niat jahatnya ). Kalaupun dia tidak sedang khilaf saat melampiaskan iri dengkinya, dan melakukannya dengan kesadaran penuh, semoga dia menghentikan kejahatannya. Karena Tuhan bukan sang Pencipta yang pasif berdiam diri melihat yang teraniaya.


***Dalam posting selanjutnya aku akan menceritakan pengalaman, sedikit eksperimen mencari tahu apakah benar guna-guna itu ada.

Selasa, 04 Januari 2011

AKANKAH KEBAIKAN BERBUAH KEBAIKAN PULA ?

Akankah kebaikan berbuah kebaikan pula ( Bag. 1 ) ?

Entah, aku belum bisa mendapat jawaban absolut antara iya dan tidak. Seorang sahabat, pernah mempertanyakan  itu disela derai airmatanya yang tanpa raungan. Dia terluka, sangat terluka oleh keadaan-oleh kenyataan. Namun dia mempertanyakan pertanyaan itu tanpa raungan atau sedu sedan, hanya sekedar deraian airmata yang kunilai alamiah mengiring sebuah penggugatan atas keadaan yang menurutnya jauh dari adil. Dan aku, tak bisa mengajukan jawaban pasti antara iya dan tidak atas pertanyaannya, sedalam apapun dia terluka ketika mempertanyakannya.

Lalu apakah dan siapakah yang bisa menjadi adil hakiki didunia ini ? Mungkin, sahabatku mempertanyakan tentang 'akankah kebaikan berbuah kebaikan pula', tidak semata-mata mesti aku yang menjawabnya. Pertanyaan itu mungkin lebih untuk menunjukan penggugatannya atas keadaan. Dia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh keadaan. Bagaimana tidak, dia terlahir dari keluarga yang tidak bahagia. Ayahnya seorang egois yang semasa dia kecil gemar sekali memukuli ibunya. Dia tidak tumbuh dalam kasih sayang seorang ayah, dia tidak meneladani figur seorang ayah, karena sang ayah hanyalah seorang egois yang sering kali menyakiti ( tak hanya istrinya, tapi banyak orang lain yang pernah bersentuhan dengannya ). Herannya, tanpa teladan kebaikan dari sang ayah, dia tumbuh tidak menjadi 'apel jatuh tidak jauh dari pohonnya'. Dia menjadi seseorang yang bercermin, bahwa disakiti itu menyakitkan. Dan sahabat saya itupun, berusaha menjadi orang baik, semampu yang dia bisa. Walau kebaikan tak punya takaran pasti, tapi setidaknya dia berusaha untuk seminim mungkin melakukan interaksi menyakitkan bagi orang-orang disekitarnya.

Lantas untuk apa dia masih mempertanyakan akankah kebaikan berbuah kebaikan pula ? Apakah dia sedang melakukan 'proyek kebaikan tanpa keikhlasan' ? Ataukah dia mengharapkan balas jasa atas kebaikannya ?

Aku bisa mengajukan jawaban pasti untuk pertanyaan diatas, adalah tidak. Sahabatku itu, sama sekali tak mengharapkan imbalan balas jasa, sekalipun dalam serba keterbatasannya, dia masih memiliki cukup ruang berbuat kebajikan bagi sesama. Pertanyaannya hanyalah sebuah penggugatan. Bukan penggugatan atas imbalan, tapi penggugatan atas kenapa dia harus dijahati sekalipun dia tidak menjahati ? Haruskah dia disakiti setelah dia melakukan yang terbaik untuk tidak menyakiti ? Dan adilkah bila dia harus dikhianati oleh orang-orang yang telah dengan ikhlas hati ditolongnya.

Bagaimana dia tidak menggugat, dia dijatuhkan-dikhianati-disakiti oleh orang - orang yang menjadi obyek kebaikannya. Kasus terbaru yang dihadapinya, dia dihancurkan oleh sahabatnya sendiri nyaris dua tahun lalu dan sampai hari ini dia masih tertatih-tatih untuk kembali memungut dan menyusun ulang serpihan hatinya yang sempat porak-poranda.

Bila membahas kisah sahabatku ini, tak ubahnya seperti mengorek dongeng antah berantah tentang putri yang teraniaya. Bedanya, kalau dalam dongeng-dongeng akhir ceritanya bisa ditebak bahagia, kalau dalam cerita nyata sahabatku ini endingnya masih kabur entah akan seperti apa. Wong sekarang saja dia masih menggapai-gapai, meraba-raba tujuan selanjutnya. Dan persamaannya dengan dongeng ialah, kedua cerita ini hanya lisan tanpa kenyataan.

Lisan tanpa kenyataan ? Bohongkah sahabatku ini ? Yup, mungkin kisah kesengsaraan dia itu bagi aku pribadi  terlampau jauh dicapai nalar. Nggak masuk di akal, susah diterima logika. 

Yah, untuk aku sih, sebagai orang yang mengenal sahabatku sangat lama, aku hanya bisa meluangkan ruang yang cukup untuk mempercayai dia, bukan ceritanya. Toh, aku yakin diapun tidak diuntungkan atas kebohongannya. Dan aku tahu, kalau dia perempuan cerdas yang malas untuk membuang waktu dalam sesuatu yang tak ada manfaatnya. Jadi aku putuskan untuk mempercayai dia, walau ceritanya masih belum bisa diterima logika. Karena aku percaya, kalau dia tidak akan buang-buang tenaga berbohong, bila dia tidak diuntungkan karenanya.

Memang sulit untuk diterima logika bila kenyataan harus disinggungkan dengan sesuatu yang bersifat mistik. Pertama mendengarnya, akupun geleng-geleng kepala tak percaya. Benarkah guna-guna itu ada ?

=====> Selanjutnya aku akan membeberkan kisah lengkapnya dalam posting berikutnya. Have a nice day everyone...

Sabtu, 01 Januari 2011

BADAN KEMBALI LANGSING BAGI PEREMPUAN

Perempuan, dari latar belakang sosial manapun atau dari suku bangsa apapun, mayoritas mendambakan tubuh langsing dan seksi. Apalagi bagi perempuan yang telah bersuami. Saat kehamilan dimana berat badan meningkat lumayan drastis, dan setelah persalinan sulit sekali untuk mengembalikan badan kembali proporsional. Kekhawatiran pun seringkali hinggap, kalau-kalau suami merasa bosan melihat tubuh istri yang tak lagi seksi seperti dulu, dan mulai cuci mata diluaran.
Amit-amit jabang bayi, jangan sampai itu terjadi. Untuk itu, ada baiknya untuk perempuan berupaya menjaga tubuh agar minimal proporsional dan tidak menjemukan suami yang mau tidak mau mesti hidup bersama tiap hari. Berikut ini ada beberapa ramuan tradisional untuk kembali melangsingkan tubuh yang cukup murah dengan bahan yang mudah didapat disekitar kita, disamping tentu saja anda harus rutin berolah-raga.

Resep 1 :

* 4 buah belimbing mengkal ( belum terlalu matang )
* Garam secukupnya

Caranya :

Parut belimbing dan peras airnya. Tambahkan garam dalam air perasan belimbing, aduk rata. Minum campuran ini sehari 2-3 kali selama dua minggu secara rutin. 

Resep 2 :

* 5 ruas kencur, bersihkan
* Segenggam beras
* 5 bulatan asam jawa, kalau ada yang belum matang benar
* Gula merah, sesuai selera
* Garam secukupnya

Caranya :

Tumbuk kencur, beras dan asam hingga halus. Tambahkan segelas air matang dan aduk rata dengan gula merah dan garam, saring. Minum ramuan ini sehari sekali sampai anda merasa telah mendapatkan tubuh ideal.

Resep 3 :

* 15 lembar daun creme 
* 5 lembar daun sirih
* 15 lembar daun beluntas
* 1 buah delima putih
* 1 ruas kunyit
* 1 ruas kencur
* 1 liter air matang
   Cuci bersih semua bahan sebelum diolah, kalau bisa terakhir dibilas dengan air matang untuk menghindari     bakteri dari air mentah.

Caranya :

Tumbuk semua bahan yang telah bersih, masukan air matang, peras dan saring. Ramuan ini diminum dua kali sehari satu cangkir saja. Masukan ramuan yang belum habis terminum kedalam kulkas untuk pengawetan dan menghindari agar tidak basi.

Semoga ramuan-ramuan diatas bisa membantu anda mengembalikan bentuk tubuh langsing semula, dan suami menjadi betah di rumah dengan anda.

Jumat, 31 Desember 2010

SELAMAT TAHUN BARU 2011

Tak terasa, kita telah memasuki tahun 2011 dan meninggalkan tahun 2010. Aku memang bukan orang  yang suka menengok kebelakang, atau setidaknya...tak ingin menempatkan masa lalu dihari ini dalam kondisi yang sama. Hanya saja, tak ada salahnya sejenak melirik, mengamati apa yang salah atau kurang dibelakang. Untuk selanjutnya aku siap kembali menatap lurus kedepan dengan strategi yang mudah-mudahan bisa mengakali dan melengkapi apa yang kemarin masih kurang, menyempurnakan apa yang sebelumnya ada, dan menghadirkan sesuatu yang baru didepan.

Tahun lalu, tak banyak resolusi diakhir 2009 yang berhasil kujadikan nyata ditahun 2010.  Alih - alih menjadi nyata, malah banyak hal yang hasil akhirnya berbelok jauh dari rencana. Jadi untuk awal tahun ini, saya tak akan beresolusi dan lebih baik untuk menjalani, semampu yang saya bisa dalam segala cara.

Aku bukanlah pemimpi, karena menurutku, hanya pemimpi yang saat terjaga akan kecewa tak menemukan impiannya. Namun, orang bilang bila mimpi bisa mengarahkan kita fokus ke tujuan mencapai impian. Mungkin ada benarnya juga. Tapi aku memilih untuk fokus menjalani.

Manis dan getir telah terlewati. Sebagian telah usai, namun masih banyak yang tersisa ada. Kuharap yang masih tersisa akan tetap ada, dan akan berkembang menjadi indah. Yang wajib kulakukan adalah menjaga dan menyempurnakan yang telah ada, dan membangun apa yang belum ada.

Salam berlalu tahun 2010, Selamat datang tahun 2011....

Rabu, 29 Desember 2010

TKW, A NEVER ENDING STORY

Tetangga depan, samping kiri - kanan, maupun belakang rumahku, anak-anak perempuannya berangkat menjadi TKW. Desa tempat tinggal kami memang terletak jauh dari alam modernisasi, kalau tidak bisa dibilang terisolir dari peradaban. Hehehe. Disini tak banyak pekerjaan menjanjikan untuk masa depan bagi perempuan selain pemetik teh. Plus latar pendidikan yang relatif rendah, lumayan sulit untuk para perempuan disini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Hanya satu dua yang beruntung terlahir dalam keluarga cukup berada yang bisa mengenyam edukasi tinggi dan akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan layak. Sisa terbesarnya, harus realistis dengan kenyataan bahwa penghasilan orangtuanya yang hanya buruh tani atau buruh pemetik teh, tak cukup untuk menyekolahkan mereka tinggi-tinggi. Alhasil, bisa tamat SMP saja sudah bersyukur. Setelah itu, pasrah pada nasib untuk dinikahkan diusia dini karena orangtuanya sudah ingin lepas dari beban 'ngempani' anak perempuannya. 

Nasib baik bila seorang gadis dipinang oleh pemuda kaya yang akhirnya bisa mengangkat harkat martabatnya secara finansial maupun sosial. Tapi yang bernasib seberuntung itu hanya satu berbanding seribu. Lainnya harus terperosok masuk dalam dunia baru yang tak kalah buruk dari dunia sebelumnya bersama orangtua mereka. Melahirkan diusia muda, suami tidak bertanggung jawab yang akhirnya lari mencari istri baru dan menelantarkan istri dan anak, hanyalah iceberg dari kutub es masalah sesungguhnya. Kalau sudah terpojok seperti ini, para perempuan didesaku biasanya memilih untuk menjadi TKW. Mereka tak mungkin pulang kerumah orangtua dengan membawa beban baru berupa cucu-cucu sementara hidup orangtua mereka pun diambang bimbang, bilakah esok masih bisa makan. Plus kemudahan untuk menjadi TKW dengan iming-iming masa depan, menjadikan mereka bulat tekad dengan mengawali langkahnya dengan "mudah-mudahan".

Fondasi mudah-mudahan ini tentu saja akan menghasilkan hasil spekulatif pula. Mudah-mudahan berhasil, mudahan mendapatkan majikan baik, mudah-mudahan mendapat real-ringgit-dollar yang banyak. Dimana tak ada penjamin absolut atas fondasi mudah-mudahan mereka. Bahkan pemerintah sekalipun tak bisa memanjangkan tangan untuk menyentuh satu persatu personal dan melindungi setiap individu warganya di negeri orang. Untuk menaungi TKW lewat payung bernama 'hukum' sekalipun, pemerintah masih kebingungan bagaimana caranya. Alhasil, fondasi spekulasi ini banyak yang menghasilkan keberhasilan, namun tak kurang pula yang menghasilkan mala petaka.

Yang baru saja terjadi dan sangat menyayat hati kita semua adalah kisah tragis Sumiyati yang diluar babak belur ( bahkan sampai hancur-belur ) disiksa secara sadis oleh majikannya di Arab Saudi, atau Kikim  Komalasari yang ditemukan tak bernyawa ( di tong sampah pula ), hanyalah ( lagi-lagi ) iceberg, diantara sekian banyak tragedi memilukan hati lainnya dari para pahlawan devisa kita. Dan gelar pahlawan pun  terasa sebuah  ironi ditengah tangis dan darah penderitaan yang ( belum ) berkesudahan. 

Kemiskinan dan ketersudutan dalam nihil pilihan, menjadi faktor pembulat tekad bagi para perempuan untuk menjadi TKW. Ketidak pastian hari-hari dinegeri orang, tak lagi bisa menyurutkan bila sudah berada di  titik ketersudutan. Resiko yang kemungkinan besar mereka hadapi jauh dinegeri orang, tak lagi jadi penghalang. Kemudahan-kemudahan ( dimana TKW tak memerlukan pendidikan tinggi ), iming-iming uang saku, bayangan uang gaji melimpah, melenggangkan mereka berangkat ke 'negeri impian'.

Yang lebih ironis lagi, tak kurang pula para perempuan yang masih bersuami dan nekat bertaruh nyawa berangkat menjadi TKW, sementara suaminya duduk santai dirumah menunggu kiriman dari istrinya di negeri orang. Untuk kasus ini, banyak aku temukan didesaku. Tragisnya, saat istri bertaruh nyawa untuk mendulang real demi real, suami di rumah kegatalan dan kawin lagi dengan menggunakan uang hasil keringat istrinya. Ya Tuhan.

Disini aku mempertanyakan tentang emansipasi. Para perempuan desa yang mungkin bahkan tak mengerti interpretasi dari kata emansipasi itu sendiri, sanggup mengejewantahkan dalam nyata dengan menyingsingkan lengan baju dan bekerja, sekalipun sebagai TKW. Dan emansipasi tanpa sadar  para perempuan ini, harus berbanding terbalik dengan 'de-emansipasi' para suaminya. Saat perempuan berjibaku, merelakan harkat dan martabatnya terlecehkan demi uang dan janji masa depan, harus pula terlecehkan secara domestik oleh tindakan 'memalukan' para suaminya. Namun disini, aku lebih melihat 'para Pria ' ini dari kacamataku sendiri. Mereka, ( 'para pria' ini ), tidak hanya sedang melecehkan derajat dan martabat istrinya sendiri, namun lebih cenderung melecehkan harkat dan martabatnya sendiri sebagai seorang 'Pria', yang tentu saja tak akan sudi bila di sebut 'Waria'.

Setiap pilihan memang absolut selalu diikuti konsekuensi. Dan para perempuan desa ini telah menjatuhkan pilihan untuk menjadi TKW. Konsekuensi, ( apapun itu bentuknya ), memang sepatutnya mereka hadapi atas pilihan yang diambilnya. Namun jangan lupa, untuk pihak-pihak terkait, yang telah menjatuhkan pilihan untuk mendulang untung dari para TKW dan devisa yang dihasilkannya, harus pula menanggung konsekuensinya. Jangan biarkan para TKW ini terlantar sendiri menghadapi konsekuensi, sementara hasil mereka tidak hanya dinikmati sendiri. Payung hukum, ( sekalipun tak cukup menaungi ), sangat diperlukan. Panjangkan tangan payung hukum untuk sedekat mungkin menjangkau individu, untuk meminimalkan konsekuensi buruk,  dan memaksimalkan konsekuensi baik. Kepanjangan tangan hukum ini, harus sepanjang devisa yang mengalir tak berkesudahan dari mereka untuk negeri tercinta.

Semoga saja dimasa akan datang, A tragic never ending story para TKW, akan berganti dengan A happy never ending story, tak hanya bagi mereka, tapi bagi kita semua.


***Bagi penyuka novel, cekedot