Rabu, 05 Januari 2011

AKANKAH KEBAIKAN BERBUAH KEBAIKAN PULA ? ( Bag.2 )

"Tak cukupkah kebaikan hati menjaga kita agar tak disakiti ?" Begitu sahabatku bertanya. Yang lagi-lagi aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya mengajukan jawaban pengalihan, bahwa setidaknya dengan kebaikan hati hidup kita akan lebih tenang tanpa dikendalikan hawa nafsu untuk menyakiti. Dan tentu saja jawabanku tak membuatnya puas, "Aku bantu dia sewaktu dia sedang dalam kesusahan, aku beri makan saat dia kelaparan, aku antarkan dia ke rumah sakit saat asmanya sering kumat. Akulah orangnya yang melakukan semua itu untuk dia. Dan di ujung hari, aku pula orangnya yang dia guna-gunai."

Ah, sulit rasanya aku mempercayai  'guna-guna' itu ada dalam nyata. Susah payah aku meyakinkan dia, bahwa guna-guna itu hanya isapan jempol belaka. Lalu aku menyarankan dia untuk untuk berdoa memohon petunjuk, mungkin dia hanya sedang berburuk sangka, mencari kambing hitam atas penderitaannya. Karena bukan tidak mungkin kesialan demi kesialan, nasib buruk yang terjadi pada dia belakangan ini membuatnya sangat marah dan mencari pelampiasan dengan menyalahkan oranglain sebagai penyebabnya.

Tapi sahabatku bersikukuh bahwa itu bukan prasangka. "Malam sebelum aku putus dengan pacarku, aku melihat bayangan masuk kekamarku. Aku yakin sekali aku tidak sedang bermimpi, karena mataku melotot dengan kesadaran penuh, hanya saja tiba-tiba aku lumpuh layu tak bisa berbuat apa-apa. Bayangan itu mendekatiku, mencabut sesuatu dari ubun-ubunku. Aku merasa ada yang keluar dari tubuhku, kemudian bayangan itu pergi. Tapi sebelum bayangan itu menghilang, aku sempat melihat wajahnya. Sekalipun samar dalam gelap aku yakin itu adalah wajah teman kos-ku."

"Tapi bagaimana mungkin seorang manusia bisa berubah menjadi bayangan yang bisa menembus tembok ?" Heranku saat itu. 

"Memang bukan dia, tapi jin piaraan yang disuruhnya." Yakinnya.

"Halah, memangnya dia orang sakti yang bisa mengendalikan makhluk halus ?"

"Bukan, teman kos-ku itu bukan orang sakti, tapi orang yang sering pergi ke dukun." Jawaban sahabatku sempat membuatku menahan napas penasaran. "Sejak pertama aku menjadi penghuni kos disitu, aku sering melihat dia pergi ke dukun. Dia pernah mengajakku, tapi aku tolak karena aku tak mengerti untuk apa kita pergi ke dukun. Lalu dia bilang, agar kita terlihat lebih menarik dan banyak disukai laki-laki. Namun tetap saja aku tidak mau, karena tanpa bantuan dukun pun, Tuhan selalu membantuku.Tapi dia malah makin sering mengunjungi dukunnya, sering beli bunga untuk mandi kembang, dan sangat percaya dengan ramalan si dukun itu. Aku sendiri tak mau usil dengan kepercayaannya. Pikirku saat itu, bila dengan pergi ke dukun bisa mensugesti dia bersemangat untuk meraih keinginannya, kenapa tidak ? Dan kenapa aku harus usil ? Jadi aku biarkan saja. Toh mungkin dia memerlukannya untuk mendongkrak rasa percaya dirinya. Bukannya menghina dan menyepelekan ciptaan Tuhan, tapi dengan wajah pas-pasan dan tubuh gendut, aku sempat berpikir kalau dia berekspektasi terlampau tinggi, ingin mendapatkan jodoh pria tampan dan kaya raya. Aku pribadi terlalu takut bila harus berekspektasi setinggi dia, karena aku harus sadar siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku."

"Dia memang seorang pemimpi." Lanjut sahabatku lagi, sementara aku diam saja dan menganalisa "Untuk mewujudkan impiannya menjadi putri Cinderella dalam dongeng, yang mendapatkan pangeran tampan kaya raya, dukun pun menjadi alternatif solusi impiannya. Aku tidak ingin kritis dengan pola pikirnya, kalau saja dia tidak merugikan orang lain dalam mengejar mimpi-mimpinya. Kami awalnya baik-baik saja, mungkin dia merasa aku bukanlah siapa-siapa yang akan menjadi saingannya untuk menjadi yang 'tercantik dan terlaku'. Sampai kemudian, aku punya pacar orang Arab kaya raya itu. Dia mulai kasak-kusuk, memperlihatkan iri dengkinya. Dia mempengaruhiku untuk tak lagi pacaran dengan mantan pacarku itu, dengan segala cara. Saat itu aku pikir, wajar saja orang punya rasa iri. Semua orangpun diberi perasaan itu, hanya saja ada yang mampu mengendalikan dan meredamnya, ada yang malah dikendalikan rasa iri tersebut. Apalagi untuk temanku, dia jungkir balik pergi ke dukun-mandi kembang-bakar kemenyan segala, tapi dia belum juga mendapatkan pria seperti impiannya. Sementara aku yang tanpa jampi-jampi dari dukun atau mandi kembang pun, bisa mendapatkan pria yang lebih baik.  Normal bila dia merasa iri. Cuma aku tak menyangka, kalau rasa iri hati itu akan membawanya kembali ke dukun dengan keinginan untuk menjatuhkan aku."

"Darimana kamu yakin kalau dia ke dukun untuk menghancurkan kamu ?" Tanyaku sangsi.

"Karena setelah kejadian masuknya bayangan kekamarku dan mencabut sesuatu dari ubun-ubunku, besoknya aku langsung diputus oleh pacarku yang orang Arab itu. Dan tak berapa lama kemudian, aku juga kehilangan pekerjaan karena pabrik tempatku bekerja harus tutup dan bangkrut. Belum lagi kesialan-kesialan lain yang terus menerus menimpaku yang membuatku terpuruk." Sahabatku menyeka airmatanya. "Dan seminggu sebelum aku melihat bayangan, dia juga pernah bercerita, bahwa dia bermimpi kalau aku mendiami kamar yang tanpa pasak, alias melayang. Tadinya, aku tak mengerti maksud cerita mimpinya. Namun belakangan, setelah aku ditimpa kemalangan berturut-turut, aku yakin bahwa yang dikatakannya bukanlah mimpi, tapi isi hatinya, yang tanpa sadar keluar saking iri dengki. Dan bisa jadi keinginan hatinya pula yang dia ungkapkan ke dukun itu. Keinginan untuk melihat hidupku melayang, tanpa pasak penopang. Dan buktinya, aku memang kehilangan penopang hidupku, yaitu pekerjaan dan pacar. Juga kehilangan good luck-ku, karena sampai sekarang harus tertatih-tatih melawan kesialan."

Aku terdiam mendengar cerita panjang lebarnya. Entah harus percaya atau tidak. Yang jelas, aku pribadi, sering merasa iri dengan keberuntungan sahabatku ini. Dia terlahir dari keluarga pas-pasan, tapi dia dinaungi keberuntungan. Wajahnya yang manis, otaknya yang cerdas, menjadikan dia perempuan menarik luar dalam dan banyak mempesona pria-pria yang secara sosial berkualitas.  Hanya saja, aku mampu mengendalikan rasa iri hatiku. Kalaupun aku layak untuk iri pada sahabatku, tapi dia tak layak untuk dijatuhkan sekedar untuk memuaskan perasaan iriku. Dia baik, dan tak layak untuk disakiti.

Sampai saat ini, sahabatku masih tertatih-tatih dan kadang letih, dibelenggu kesialan. Namun kebaikan hatinya, membuatnya masih memiliki orang-orang yang selalu support, termasuk aku. Dan aku akan selalu mensupport dia dalam doa, semoga mantan temannya itu akan di sentil hatinya oleh yang Maha Pencipta. Disadarkan dari khilafnya ( kalau dia khilaf saat melakukan niat jahatnya ). Kalaupun dia tidak sedang khilaf saat melampiaskan iri dengkinya, dan melakukannya dengan kesadaran penuh, semoga dia menghentikan kejahatannya. Karena Tuhan bukan sang Pencipta yang pasif berdiam diri melihat yang teraniaya.


***Dalam posting selanjutnya aku akan menceritakan pengalaman, sedikit eksperimen mencari tahu apakah benar guna-guna itu ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar