Rabu, 29 Desember 2010

TKW, A NEVER ENDING STORY

Tetangga depan, samping kiri - kanan, maupun belakang rumahku, anak-anak perempuannya berangkat menjadi TKW. Desa tempat tinggal kami memang terletak jauh dari alam modernisasi, kalau tidak bisa dibilang terisolir dari peradaban. Hehehe. Disini tak banyak pekerjaan menjanjikan untuk masa depan bagi perempuan selain pemetik teh. Plus latar pendidikan yang relatif rendah, lumayan sulit untuk para perempuan disini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Hanya satu dua yang beruntung terlahir dalam keluarga cukup berada yang bisa mengenyam edukasi tinggi dan akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan layak. Sisa terbesarnya, harus realistis dengan kenyataan bahwa penghasilan orangtuanya yang hanya buruh tani atau buruh pemetik teh, tak cukup untuk menyekolahkan mereka tinggi-tinggi. Alhasil, bisa tamat SMP saja sudah bersyukur. Setelah itu, pasrah pada nasib untuk dinikahkan diusia dini karena orangtuanya sudah ingin lepas dari beban 'ngempani' anak perempuannya. 

Nasib baik bila seorang gadis dipinang oleh pemuda kaya yang akhirnya bisa mengangkat harkat martabatnya secara finansial maupun sosial. Tapi yang bernasib seberuntung itu hanya satu berbanding seribu. Lainnya harus terperosok masuk dalam dunia baru yang tak kalah buruk dari dunia sebelumnya bersama orangtua mereka. Melahirkan diusia muda, suami tidak bertanggung jawab yang akhirnya lari mencari istri baru dan menelantarkan istri dan anak, hanyalah iceberg dari kutub es masalah sesungguhnya. Kalau sudah terpojok seperti ini, para perempuan didesaku biasanya memilih untuk menjadi TKW. Mereka tak mungkin pulang kerumah orangtua dengan membawa beban baru berupa cucu-cucu sementara hidup orangtua mereka pun diambang bimbang, bilakah esok masih bisa makan. Plus kemudahan untuk menjadi TKW dengan iming-iming masa depan, menjadikan mereka bulat tekad dengan mengawali langkahnya dengan "mudah-mudahan".

Fondasi mudah-mudahan ini tentu saja akan menghasilkan hasil spekulatif pula. Mudah-mudahan berhasil, mudahan mendapatkan majikan baik, mudah-mudahan mendapat real-ringgit-dollar yang banyak. Dimana tak ada penjamin absolut atas fondasi mudah-mudahan mereka. Bahkan pemerintah sekalipun tak bisa memanjangkan tangan untuk menyentuh satu persatu personal dan melindungi setiap individu warganya di negeri orang. Untuk menaungi TKW lewat payung bernama 'hukum' sekalipun, pemerintah masih kebingungan bagaimana caranya. Alhasil, fondasi spekulasi ini banyak yang menghasilkan keberhasilan, namun tak kurang pula yang menghasilkan mala petaka.

Yang baru saja terjadi dan sangat menyayat hati kita semua adalah kisah tragis Sumiyati yang diluar babak belur ( bahkan sampai hancur-belur ) disiksa secara sadis oleh majikannya di Arab Saudi, atau Kikim  Komalasari yang ditemukan tak bernyawa ( di tong sampah pula ), hanyalah ( lagi-lagi ) iceberg, diantara sekian banyak tragedi memilukan hati lainnya dari para pahlawan devisa kita. Dan gelar pahlawan pun  terasa sebuah  ironi ditengah tangis dan darah penderitaan yang ( belum ) berkesudahan. 

Kemiskinan dan ketersudutan dalam nihil pilihan, menjadi faktor pembulat tekad bagi para perempuan untuk menjadi TKW. Ketidak pastian hari-hari dinegeri orang, tak lagi bisa menyurutkan bila sudah berada di  titik ketersudutan. Resiko yang kemungkinan besar mereka hadapi jauh dinegeri orang, tak lagi jadi penghalang. Kemudahan-kemudahan ( dimana TKW tak memerlukan pendidikan tinggi ), iming-iming uang saku, bayangan uang gaji melimpah, melenggangkan mereka berangkat ke 'negeri impian'.

Yang lebih ironis lagi, tak kurang pula para perempuan yang masih bersuami dan nekat bertaruh nyawa berangkat menjadi TKW, sementara suaminya duduk santai dirumah menunggu kiriman dari istrinya di negeri orang. Untuk kasus ini, banyak aku temukan didesaku. Tragisnya, saat istri bertaruh nyawa untuk mendulang real demi real, suami di rumah kegatalan dan kawin lagi dengan menggunakan uang hasil keringat istrinya. Ya Tuhan.

Disini aku mempertanyakan tentang emansipasi. Para perempuan desa yang mungkin bahkan tak mengerti interpretasi dari kata emansipasi itu sendiri, sanggup mengejewantahkan dalam nyata dengan menyingsingkan lengan baju dan bekerja, sekalipun sebagai TKW. Dan emansipasi tanpa sadar  para perempuan ini, harus berbanding terbalik dengan 'de-emansipasi' para suaminya. Saat perempuan berjibaku, merelakan harkat dan martabatnya terlecehkan demi uang dan janji masa depan, harus pula terlecehkan secara domestik oleh tindakan 'memalukan' para suaminya. Namun disini, aku lebih melihat 'para Pria ' ini dari kacamataku sendiri. Mereka, ( 'para pria' ini ), tidak hanya sedang melecehkan derajat dan martabat istrinya sendiri, namun lebih cenderung melecehkan harkat dan martabatnya sendiri sebagai seorang 'Pria', yang tentu saja tak akan sudi bila di sebut 'Waria'.

Setiap pilihan memang absolut selalu diikuti konsekuensi. Dan para perempuan desa ini telah menjatuhkan pilihan untuk menjadi TKW. Konsekuensi, ( apapun itu bentuknya ), memang sepatutnya mereka hadapi atas pilihan yang diambilnya. Namun jangan lupa, untuk pihak-pihak terkait, yang telah menjatuhkan pilihan untuk mendulang untung dari para TKW dan devisa yang dihasilkannya, harus pula menanggung konsekuensinya. Jangan biarkan para TKW ini terlantar sendiri menghadapi konsekuensi, sementara hasil mereka tidak hanya dinikmati sendiri. Payung hukum, ( sekalipun tak cukup menaungi ), sangat diperlukan. Panjangkan tangan payung hukum untuk sedekat mungkin menjangkau individu, untuk meminimalkan konsekuensi buruk,  dan memaksimalkan konsekuensi baik. Kepanjangan tangan hukum ini, harus sepanjang devisa yang mengalir tak berkesudahan dari mereka untuk negeri tercinta.

Semoga saja dimasa akan datang, A tragic never ending story para TKW, akan berganti dengan A happy never ending story, tak hanya bagi mereka, tapi bagi kita semua.


***Bagi penyuka novel, cekedot

Tidak ada komentar:

Posting Komentar